New GBS



LAMAN INI AKAN MEMUAT TESTIMONI PASIEN GBS YANG KAMI TEMUI LANGSUNG DAN KAMI DAMPINGI SAAT INI

Azka dan Shafa
Balita Setengah Mesin


Usianya masih sangat muda. 4 Tahun. Muhammad Azka Arriziq adalah putra tunggal pasangan Anto Aryanto (42) dan istrinya Rinawati Rina (39). Bagi pasangan Dosen Universitas Lancang Kuning Pekanbaru dan Guru TK di Bogor ini, Azka adalah mutiara hati yang dinanti setelah 10 tahun pernikahan mereka.
Sejak lahir dan memasuki usia 4 tahun, tidak ada yang aneh dengan Azka. Tubuhnya sehat. Tingkahnya menggemaskan. Layaknya anak-anak seusianya, Azka tumbuh sebagai anak yang selalu riang dan ceria. Tidak pernah ada keluhan medis selain flu atau demam yang memang biasa menyerang anak-anak.
Semuanya mendadak berubah sekejap mata. Tanggal 21 Juli 2011, saat Rina tengah melaksanakan sholat malam jam 03.00 WIB, Azka mendadak mengeluhkan kakinya terasa kesemutan. Rina menganggap keluhan anaknya sebagai keluhan biasa. Rina yang memang tidak pernah tahu GBS itu apa, tidak sadar kalau kesemutan yang dirasakan Azka adalah tanda-tanda awal GBS. Untuk kembali menidurkan Azka, Rina membuat sebotol susu seperti permintaan anaknya.
Namun paginya kondisi Azka mulai memburuk. Kaki Azka tidak bisa digerakkan sama sekali. Jari-jari tangan mulai berat untuk digerakkan. Rina mulai khawatir. Bersama adiknya, dengan menggunakan sepeda motor Rina berangkat ke RSUD Ciawi. Sambil menggendong Azka, sejak pukul 10.00 WIB, Rina baru dapat membawa Azka berkonsultasi dengan Dokter pada pukul 14.00 WIB mengingat panjangnya antrian pasien.
Begitu melihat kondisi Azka, Dokter di RSUD Ciawi langsung mendiagnosis Azka terkena Gullain Barré Syndrome (GBS). Suatu penyakit yang menyerang imun tubuh dan membuat kelumpuhan otot hanya dalam hitungan jam. GBS bahkan membuat otot pernafasan tidak bisa bergerak, sehingga paru-paru tidak bisa bekerja optimal bahkan lumpuh. Inilah yang membuat Azka kian lemah.
Dokter di RSUD Ciawi langsung merekomendasikan Azka mendapatkan bantuan pernafasan dengan menggunakan ventilator (alat bantu pernafasan). Saat itu satu-satunya Rumah Sakit yang memiliki ruang ICU-PICU dan memiliki alat ventilator adalah RS Azra di jalan Padjajaran, Bogor. Rina langsung memboyong Azka ke Azra. Begitu masuk ke ruang Ventilator (terhitung 15 jam kemudian sejak mengeluh pertama kali jam 03.00 WIB), Azka langsung koma.
Hampir dua pekan sudah, Azka ibarat manusia robot. Berbagi hidup dengan mesin. Ibarat mayat hidup, meski jantungnya berdetak lemah, seluruh gerak motorik tubuh Azka bahkan paru-paru tidak bisa bekerja. Untuk mempertahankan kehidupan, Azka harus menggunakan ventilator untuk memompa paru-parunya dan dijaga 24 jam oleh tim dokter. Nyaris 100 persen kehidupan Azka yang semula riang dan lincah, kini hanya mengandalkan peralatan medis dan mengkonsumsi obat GBS berbiaya mahal.
Karena obat GBS saat ini memang hanya ada satu yaitu Gamamune (Imuno globuline) yang harganya mencapai Rp4-5 juta rupiah per botol. Untuk satu pasien GBS diwajibkan mengkonsumsi bahkan hingga 2-3 botol per hari. Sementara tahap penyembuhan bisa hitungan bulan bahkan tahun hanya bergantung pada ventilator dan obat-obatan. Bahkan hingga saat ini belum ada tim medis dunia yang mengetahui, kapan pasien GBS bisa benar-benar lepas dari ketergantungan ventilator dan obat-obatan.
Dengan biaya super tinggi, Anto dan Rina kini harus berpacu dengan waktu. Antara mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang dengan mempertahankan nafas buatan putra mereka yang berbiaya sangat mahal. Karena jika tidak bisa membayar lagi, artinya mereka harus merelakan putra mereka dibiarkan tidak bisa bernafas. Lalu mati hidup-hidup (karena sebenarnya pasien GBS masih hidup, karena jantung mereka normal namun paru-paru saja yang tidak bisa berfungsi).
‘’Azka putra kami masih hidup. Meski lumpuh total dan koma, saat didengarkan Ayat Al Quran dan diajak berbicara, air matanya keluar. Sesekali matanya terbuka meski menutup lagi. Dia masih hidup, jantungnya masih ada, hanya lumpuh dan paru-parunya tidak bisa berfungsi. Jika kita bernafas gratis, maka Azka hanya perlu membayar setiap kali bernafas. Allah swt masih menitipkan anak ini untuk tetap hidup, kami tidak mungkin membiarkannya mati dan menyerah begitu saja,’’ kata Rina, Ibu Azka.
Azka tidak bisa bernafas sendiri karena GBS telah menyerang seluruh otot hingga ke paru-paru dan otak. Didua sisi tempat tidur Azka, selain terlihat alat-alat pemantau detak jantung, juga ada alat pernafasan, suhu tubuh, tensi darah dan banyak lagi lainnya yang berhubungan langsung dengan Azka. Hampir seluruh wajah dan tubuh Azka dipenuhi dengan alat-alat medis.
 Mungkin karena mulai putus asa dengan biaya pengobatan yang sudah lebih Rp80 juta, yang didapat dari jual tanah, gadai surat berharga dan lainnya, Rina dan Anto nekat mengirimkan pesan singkat (SMS) kepada Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih memohon perhatian.
Endang memang membalas pesan Rina bahkan langsung mengirimkan tim dari Kemenkes untuk melihat kondisi Azka di Bogor. Tim dari Dinas Kesehatan Bogor yang semula tidak tahu ada pasien GBS di wilayah mereka juga ikut turun. Namun semuanya baru tahap wacana akan membantu, sementara setiap detiknya berarti nyawa untuk Azka.
‘’Kami berterimakasih Buk Menteri mau membalas sms dan mengirimkan tim. Masalahnya, Azka saat ini butuh bantuan riil bukan hanya janji atau wacana. Karena setiap hari, kami harus menyediakan saldo Rp8-10 juta untuk mempertahankan Azka tetap hidup dan itu entah sampai kapan. Sementara semua harta benda sudah kami jual,’’ kata Rina.
Ternyata Azka tidak sendiri. Dari hasil penelusuran ditemukan satu lagi pasien GBS di Jakarta bernama Shafa Azalia. Bukan tidak mungkin, Azka akan bernasib sama seperti Putri Zulkarnain yang berusia 4,6 tahun ini. Sejak 17 Oktober 2010 (nyaris setahun) Shafa hidup dengan mengandalkan ventilator dan obat-obatan berbiaya tinggi. GBS membuat Shafa harus berbaring lemah di St Corolus dengan alat-alat ventilator ditubuhnya.
‘’Sejak 17 Oktober 2010 sampai 14 Februari 2011, saya sudah habis lebih Rp300 juta. Belum lagi hutang yang sudah mencapai Rp300 juta. Pihak RS St Corolus sudah sangat membantu, hingga kami mendapatkan bantuan Rp100 juta. Tapi Shafa belum tahu kapan sembuhnya karena bergantung dengan ventilator dan obat-obatan yang sangat mahal. Sementara bantuan pemerintah yang Rp100 juta sudah habis hanya dalam hitungan minggu,’’ kata Zulkarnain.
Meski telah menjual rumah, tanah dan nyaris seluruh harta bendanya, Zulkarnain mengatakan GBS yang menyerang Shafa tak pernah pasti kapan akan berakhir. Kini Zulkarnain mulai menyerah dengan biaya yang cukup tinggi. Sementara Shafa masih mengandalkan ventilator dengan cara lehernya dilubangi langsung ke paru-paru atau trakeastomi. Setiap hari Shafa hidup di atas tempat tidurnya di ruang ICU bahkan mendapat gelar ‘Ibu Camat’ dari para suster dan dokter RS Carolus, karena pasien ICU keluar masuk, namun Shafa tak pernah dapat dipastikan kapan bisa meninggalkan ruangan dan alat-alat medis yang melekat ditubuhnya.
‘’Awalnya satu bulan pertama, ventilator melalui mulut. Namun sejak bulan kedua, ventilator Shafa melalui leher yang dilubangi. Sesekali Shafa belajar bernafas normal, namun hanya mampu beberapa menit atau jam saja, setelah itu tubuhnya membiru tak bisa bernafas. Shafa belum kuat bernafas tanpa alat dan bantuan obat-obat GBS yang sangat mahal. Hingga sekarang belum bisa ditanggalkan, karena belum ada tanda-tanda paru-paru Shafa kuat berfungsi sendiri,’’ kata Zulkarnain.
‘’Saya sangat bermohon sekali kepada Bapak Presiden atau Ibu Menteri, untuk bantu saya menghadapi GBS yang menyerang Shafa. Dengan biaya demikian besar ini, saya tidak tahu sampai kapan kami bisa bertahan. Saya sudah mendengar juga cerita tentang Azka, nasib kami para orangtua pasien GBS hampir sama, kami tidak mungkin membiarkan anak-anak kami meninggal begitu saja hanya karena biaya sementara mereka sebenarnya masih hidup,’’ tambah Zulkarnain.(*)

Contact Person:
Keluarga Azka 08128048593 atau 081280114522 
Keluarga Shafa 081399101927




Tissa
Atlet Basket Yang Hanya Bisa Menggerakkan Matanya Saja

 

Putri bungsu Teguh dan Endah, warga kompleks Angkasa Pura II Jalan Mutiara Blok C23 No.1, RT 01/RW 007 Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Neglasari, Tangerang, Banten ini sudah hampir dua bulan menjadi penghuni ruang ICU lantai III RS Dharmais, Jakarta.

Tidak ada yang menyangka, bila Tissa yang awalnya ceria, aktif dan gesit kini tumbang tak berdaya akibat GBS. Semuanya terlihat sangat normal, apalagi selain aktif di OSIS SMU 1 Tangerang, Tissa juga dikenal sebagai atlet basket dan softball di sekolahnya.

Namun semuanya berubah dan menjadi mimpi buruk bagi keluarga Teguh pada tanggal 16 Juni lalu. Saat itu menjelang magrib, Tissa mulai mengeluhkan badannya terasa kelelahan, kaki kesemutan dan sangat berat digerakkan. Tissa bahkan meminta kakaknya, Tussi untuk mengantarnya cek ke dokter.

‘’Saya sempat heran, padahal Tissa selama ini tidak pernah mengeluh sakit apalagi minta diantar ke dokter. Bahkan 3 hari sebelumnya, saya sama Tissa sempat olahraga di Senayan,’’ kata Tussi, kakak sulung Tissa pada yang menemuinya di RS Kanker Dharmais.

Kondisi Tissa terus melemah dan keluarga segera melarikannya ke RS Mayapada. Para dokter sempat memvonis Tissa kekurangan Kalium. Obat-obatan pun diberikan namun bukannya membaik, Tissa terus memburuk. Hanya dalam hitungan jam, Tissa pun nyaris lumpuh dan harus dipapah saat Dokter merujuknya ke RS Dharmais.

Sampai di RS Dharmais, Tissa langsung masuk ICU dan mendapatkan bantuan alat pernafasan (ventilator). Sejak itulah Tissa yang dikenal aktif, pelan-pelan ibarat mati suri. Jangankan menggerakkan badan, bahkan membuka mata saja pun tidak bisa. Tissa langsung koma dan sekitar 10 hari kemudian barulah para dokter memvonisnya terserang GBS.

‘’Kami tak pernah tahu apa itu GBS? Sebabnya apa, darimana dan bagaimana bisa anak kami yang semula sehat, mendadak harus hidup menggunakan mesin tanpa henti hanya dalam hitungan jam dan hari,’’ kata Teguh.

 Pensiunan Angkasa Pura II ini pun harus menerima kenyataan. Memperjuangkan kehidupan putri bungsunya dengan berkejar-kejaran antara nyawa dan waktu. Biaya RS dan obat-obatan yang sangat mahal, harus ditanggungnya sendiri. Padahal uang pensiun yang diterimanya hanya Rp1,4 juta per bulan.

Teguh awalnya masih bisa berjuang untuk Tissa dengan mengandalkan tabungan, pinjaman, sumbangan dan hutang kiri kanan. Namun menghitung hari hingga masuk hitungan bulan, Tissa tak kunjung jua menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.

 ‘’Hingga hari ini biaya RS sudah sekitar Rp350 juta. Yang sudah saya bayar sekitar Rp170 jutaan. Sisanya sekitar Rp155 jutaan masih berhutang ke pihak RS. Yang membuat saya panik, hingga saat ini tidak ada satupun yang bisa memastikan kapan anak saya akan sembuh,’’ kata Teguh.

 Dari awalnya termasuk golongan mampu, kini Teguh ibarat dimiskinkan oleh GBS. Meski sudah mengeluhkan kondisi putrinya ke berbagai pihak, namun Teguh belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah.

 ‘’Dari perusahaan, santunan pensiunan hanya untuk saya dan istri. Sedangkan untuk anak tidak ada. Dari pemerintah juga saya tidak bisa mengajukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), karena semua orang taunya saya mampu. Tapi dengan kondisi seperti ini, semua harta rasanya sudah habis. Kami pun hanya tinggal di rumah komplek yang harusnya ketika masuk usia pensiun wajib kami tinggalkan,’’ kata Teguh.

 Setiap harinya Teguh dan Novita berharap Tissa bisa kembali ceria dan aktif seperti sedia kala. Namun Tissa yang sudah menjalani tiga kali cuci plasma (setiap satu kali biayanya Rp25 juta lebih), tetap saja tidak banyak menunjukkan perubahan. Cuci plasma hanya mampu membuat Tissa bisa berkomunikasi melalui gerak kepala dan mata saja. Sementara gerak motorik lainnya lumpuh total.

 Berbagai mesin pemantau gerak motorik tampak mengelilingi ranjang dimana hampir 2 bulan Tissa berbaring. Karena GBS juga sudah menyerang gerak motorik paru-parunya, Tissa terpaksa bernafas menggunakan ventilator yang dilubangi melalui lehernya. Tissa sang atlet Basket itu benar-benar terlihat ringkih dan tidak berdaya. Hanya bola matanya saja yang terlihat bergerak.

 Saat saya berusaha mengajak Tissa berkomunikasi dengan cara memegang tangannya. Tissa sempat memandang. Terlihat rona letih diwajahnya. ‘’Tissa ngantuk ya?’’. Pertanyaan inipun dijawabnya dengan satu kedipan seolah mengiyakan.

 ‘’Beginilah kondisi anak saya sekarang. Hampir semuanya sudah bergantung dari mesin. Kami sudah bingung mau mencari biaya pengobatan dari mana lagi. Sebagai seorang ayah, saya akan berjuang sampai kapanpun demi kesembuhan anak saya ini. Apapun yang terjadi,’’ kata Teguh yang mengaku tak pernah meninggalkan rumah sakit meski sehari pun.

 Bahkan untuk mengakali biaya rumah sakit yang cukup mahal, Teguh harus membelanjakan uangnya secara bijak. Sebagian peralatan medis dibelinya dari luar RS, sedangkan obat-obatan tetap ditebus di RS.

 ‘’Sebenarnya tidak sanggup dengan biaya yang begitu besar, tapi kami tidak mungkin menyerah sementara Tissa sudah demikian kuat bertahan. Kami hanya bermohon pemerintah menolong kesusahan kami saat ini. Karena kami sudah tak punya apa-apa lagi,’’ kata Teguh bermohon.(*)

Contact Person:
Keluarga Tissa 082122252324 atau 081385934000
 

Rohyati
Pasien GBS Istri Kuli Bangunan di Purwokerto


JAKARTA—Satu persatu kasus penyakit langka berbiaya mahal, Guillain-Barre Syndrome (GBS) bermunculan. Setelah Azka dan Shafa, dua balita yang akhirnya dirujuk ke RSCM Jakarta, kini kasus yang sama juga sedang dialami Tissa (17) di RS Dharmais Jakarta. Yang terbaru ditemukan adalah di RS Margono, Purwokerto, Jawa Tengah.
Kami berhasil menghubungi keluarga pasien Rohyati (39), seorang Ibu rumah tangga yang kini harus menjadi penghuni ruang ICU dengan bantuan alat pernafasan atau ventilator. Asrop (40), suami Rohyati mengeluhkan kondisi istrinya yang dinilai sangat membingungkan.
‘’Sebenarnya ini penyakit apa ya? Yang bisa bergerak cuma matanya saja sedangkan lainnya, seluruh tubuh tidak bisa bergerak,’’ kata Asrop yang mengaku sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan itu.
Asrop menceritakan penyakit GBS yang dialami Rohyati dimulai dari keluhan istrinya yang merasa sering kelelahan. Dalam beberapa hari, Rohyati juga mengeluh sering merasakan sakit di tulang punggung bagian belakang, capek-capek dan sering tidak bisa berdiri.
Rabu (9/8) lalu istrinya mendadak merasakan kesemutan yang luar biasa dibagian kakinya. Dan rasa sakit terus menjalar ke bagian tubuh lainnya. Dalam hitungan jam, Rohyati nyaris mengalami kelumpuhan dan dibawa ke RS terdekat.‘’Kata Dokter istri saya kena penyakit syaraf dan otot. Tapi kondisinya terus memburuk sampai tidak bisa bernafas,’’.
Pihak RS akhirnya merujuk Rohyati untuk segera dibawa ke RSUD Margono, Purwokerto. Rohyati, Ibu rumah tangga yang gesit itu kini harus terbaring koma menghuni ruang ICU rumah sakit dan diagnosis terserang GBS.
‘’Waktu di RS pertama saya sudah bayar Rp1,5 juta. Sekarang katanya satu malam di ruang ICU Rp500 ribu. Saya baru mau mengurus SKTM, menurut informasi katanya bisa dapat cuma Rp1,5 juta,’’ kata Asrop saat ditanya mengenai pembiayaan istrinya.
Asrop bukan hanya tidak tahu dengan penyakit istrinya. Namun juga tidak pernah tahu tentang apa yang mungkin akan dihadapi ketika istrinya divonis GBS. Karena bila dibandingkan dengan pasien-pasien GBS seperti Azka, Shafa ataupun Tissa, tentu setoran Asrop sebesar Rp1,5 juta bukanlah apa-apa.
GBS yang menyerang Azka (4) saat dirawat di RS Azra Bogor, memakan biaya hingga Rp100 juta selama 10 hari perawatan. Sedangkan Shafa (4) selama 10 bulan di RS Carolus Jakarta, menghabiskan biaya Rp600 juta dan Tissa (17) selama dua bulan, sudah menghabiskan biaya Rp350 juta. Sedangkan kepastian sembuh bagi ketiganya masih belum bisa dipastikan.
‘’Saya cuma seorang buruh biasa. Kalau dengar informasi katanya sakit GBS itu besar sekali biayanya, tentu kami sangat tidak mampu. Selama ini kami tidak pernah tahu GBS itu apa,’’ kata Asrop yang mengatakan belum ada pihak Dinas Kesehatan Banyumas yang datang menjenguk ke RS meski Menteri Kesehatan sudah mengumumkan bahwa pasien GBS harus mendapatkan perhatian khusus.
Saat dihubungi, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan bahwa GBS meski jarang tapi sekarang sudah banyak ditemukan di Indonesia. Pihaknya akan semaksimal mungkin melakukan penanganan terbaik bagi pasien-pasien GBS yang sekarang banyak bermunculan setelah Azka, Shafa dan Tissa.
‘’Penduduk kitakan banyak. Ada sekitar 240 juta. Jadi kalau 1:1.000.000 saja, maka ada 240 orang pertahun di Indonesia,’’ kata Endang.
Setelah langsung memindahkan Azka dan Shafa ke RSCM Jakarta, serta memberikan perhatian khusus pada Tissa yang masih dirawat di RS Dharmais, Jakarta, Endang yang selama ini sangat aktif terhadap pasien GBS, berjanji akan segera melakukan penanganan khusus pula pada pasien GBS yang baru ditemukan lagi di Purwokerto.’’Kami akan cek juga mekanisme pembayarannya. Bila tidak mampu bisa dibantu dengan SKTM,’’ katanya.

Endang pun meminta seluruh masyarakat Indonesia ikut aktif peduli GBS. Saat ini secara independen, informasi mengenai GBS bisa diakses melalui www.peduligbs.blogspot.com atau menghubungi nomor 081378362636.
Informasi mengenai Rohyati sendiri, berawal dari salah satu pembaca web blog ini. Menkes Endang pun mendukung kelompok independen masyarakat yang saat ini menjadi salah satu wadah informasi penyakit GBS.’’Terimakasih atas usaha dan informasinya,’’ kata Endang menanggapi munculnya komunitas peduli GBS.(*)

Contact Person:
Keluarga Rohyati 081327068594