Jumat, 12 Agustus 2011

GBS Serang Istri Kuli Bangunan di Purwokerto

JAKARTA—Satu persatu kasus penyakit langka berbiaya mahal, Guillain-Barre Syndrome (GBS) bermunculan. Setelah Azka dan Shafa, dua balita yang akhirnya dirujuk ke RSCM Jakarta, kini kasus yang sama juga sedang dialami Tissa (17) di RS Dharmais Jakarta. Yang terbaru ditemukan adalah di RS Margono, Purwokerto, Jawa Tengah.
            JPNN berhasil menghubungi keluarga pasien Rohyati (39), seorang Ibu rumah tangga yang kini harus menjadi penghuni ruang ICU dengan bantuan alat pernafasan atau ventilator. Asrop (40), suami Rohyati mengeluhkan kondisi istrinya yang dinilai sangat membingungkan.
            ‘’Sebenarnya ini penyakit apa ya? Yang bisa bergerak cuma matanya saja sedangkan lainnya, seluruh tubuh tidak bisa bergerak,’’ kata Asrop yang mengaku sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan itu.
            Asrop menceritakan penyakit GBS yang dialami Rohyati dimulai dari keluhan istrinya yang merasa sering kelelahan. Dalam beberapa hari, Rohyati juga mengeluh sering merasakan sakit di tulang punggung bagian belakang, capek-capek dan sering tidak bisa berdiri.
            Rabu (9/8) lalu istrinya mendadak merasakan kesemutan yang luar biasa dibagian kakinya. Dan rasa sakit terus menjalar ke bagian tubuh lainnya. Dalam hitungan jam, Rohyati nyaris mengalami kelumpuhan dan dibawa ke RS terdekat.‘’Kata Dokter istri saya kena penyakit syaraf dan otot. Tapi kondisinya terus memburuk sampai tidak bisa bernafas,’’.
Pihak RS akhirnya merujuk Rohyati untuk segera dibawa ke RSUD Margono, Purwokerto. Rohyati, Ibu rumah tangga yang gesit itu kini harus terbaring koma menghuni ruang ICU rumah sakit dan diagnosis terserang GBS.
            ‘’Waktu di RS pertama saya sudah bayar Rp1,5 juta. Sekarang katanya satu malam di ruang ICU Rp500 ribu. Saya baru mau mengurus SKTM, menurut informasi katanya bisa dapat cuma Rp1,5 juta,’’ kata Asrop saat ditanya mengenai pembiayaan istrinya.
Asrop bukan hanya tidak tahu dengan penyakit istrinya. Namun juga tidak pernah tahu tentang apa yang mungkin akan dihadapi ketika istrinya divonis GBS. Karena bila dibandingkan dengan pasien-pasien GBS seperti Azka, Shafa ataupun Tissa, tentu setoran Asrop sebesar Rp1,5 juta bukanlah apa-apa.
GBS yang menyerang Azka (4) saat dirawat di RS Azra Bogor, memakan biaya hingga Rp100 juta selama 10 hari perawatan. Sedangkan Shafa (4) selama 10 bulan di RS Carolus Jakarta, menghabiskan biaya Rp600 juta dan Tissa (17) selama dua bulan, sudah menghabiskan biaya Rp350 juta. Sedangkan kepastian sembuh bagi ketiganya masih belum bisa dipastikan.
‘’Saya cuma seorang buruh biasa. Kalau dengar informasi katanya sakit GBS itu besar sekali biayanya, tentu kami sangat tidak mampu. Selama ini kami tidak pernah tahu GBS itu apa,’’ kata Asrop yang mengatakan belum ada pihak Dinas Kesehatan Banyumas yang datang menjenguk ke RS meski Menteri Kesehatan sudah mengumumkan bahwa pasien GBS harus mendapatkan perhatian khusus.
Saat dihubungi JPNN, Jumat malam (12/8), Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan bahwa GBS meski jarang tapi sekarang sudah banyak ditemukan di Indonesia. Pihaknya akan semaksimal mungkin melakukan penanganan terbaik bagi pasien-pasien GBS yang sekarang banyak bermunculan setelah Azka, Shafa dan Tissa.
‘’Penduduk kitakan banyak. Ada sekitar 240 juta. Jadi kalau 1:1.000.000 saja, maka ada 240 orang pertahun di Indonesia,’’ kata Endang.
Setelah langsung memindahkan Azka dan Shafa ke RSCM Jakarta, serta memberikan perhatian khusus pada Tissa yang masih dirawat di RS Dharmais, Jakarta, Endang yang selama ini sangat aktif terhadap pasien GBS, berjanji akan segera melakukan penanganan khusus pula pada pasien GBS yang baru ditemukan lagi di Purwokerto.’’Kami akan cek juga mekanisme pembayarannya. Bila tidak mampu bisa dibantu dengan SKTM,’’ katanya.
Endang pun meminta seluruh masyarakat Indonesia ikut aktif peduli GBS. Saat ini secara independen, informasi mengenai GBS bisa diakses melalui www.peduligbs.blogspot.com atau menghubungi nomor 081378362636.
 Informasi mengenai Rohyati sendiri, berawal dari salah satu pembaca web blog ini. Menkes Endang pun mendukung kelompok independen masyarakat yang saat ini menjadi salah satu wadah informasi penyakit GBS.’’Terimakasih atas usaha dan informasinya,’’ kata Endang menanggapi munculnya komunitas peduli GBS.(afz/jpnn)

Pengobatan GBS Ditanggung Askes, Azka Mundur dari 'Gerakan Rp 1.000'


Jumat, 12/08/2011 13:13 WIB

Jakarta - Orangtua balita penderita penyakit langka Guillain-Barre Syndrome (GBS), Azka Arriziq (4,3) menyatakan mundur dari 'Gerakan Rp 1.000 Peduli Azka & Shafa'. Alasannya, orangtua Azka merasa biaya pengobatan anaknya telah tercover oleh Askes.

"Benar kami mundur. Alasan kami, kami sudah merasa cukup dibantu dan memang biaya sudah ditanggung oleh Askes, kami tidak ingin merepotkan masyarakat," ujar ibunda Azka, Rina, saat dihubungi detikcom, Jumat (
12/8/2011).

Rina menuturkan, pengobatan yang dijalani Azka di RSCM dengan ditanggung oleh Askes selama ini berjalan dengan baik. Orangtua Azka pun merasa ada orang lain yang lebih layak menerima bantuan biaya dari donasi masyarakat tersebut.

"Alhamdulillah, Azka ditangani dengan baik, begitu pula dengan biayanya. Adapun kami mundur karena kami ingin menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang memberikan donasi, yang memberikan bantuan kepada kami, baik materill maupun moril," tuturnya.

Rina menyatakan, pihaknya menyerahkan seluruhnya kepada koordinator dan perintis 'Gerakan Rp 1.000 Peduli Azka & Shafa'. Dia hanya berharap, semoga hasil donasi tersebut bisa diberikan bagi anak-anak penderita GBS lainnya yang lebih membutuhkan.

"Kami harap donasi tersebut bisa digunakan untuk membantu anak-anak lain yang menderita GBS seperti Azka," ucap Rina.

Karena sudah mundur dari gerakan itu, Rina meminta agar nama Azka dalam 'Gerakan Rp 1.000 Peduli Azka & Shafa' dihilangkan. "Koordinator menanyakan, kalau dilanjutkan apakah masih boleh? Kami menyatakan tidak mengizinkan nama Azka tetap di gerakan itu. Mungkin namanya bisa diganti dengan anak-anak penderita GBS yang lain atau bagaimana. Spirit awal gerakan tersebut, Azka hanya sebagai simbol spirit peduli untuk anak-anak penderita GBS," terangnya.

"Untuk teman-teman yang dari awal mengawal kami, ketika di perjalanan kami mundur, kami hanya ingin mengembalikan niat semula. Kami tidak ingin ada orang tua seperti kami yang kebingungan dengan biaya. Untuk Azka, biaya sudah ditanggung Askes, jadi tidak ada alasan bagi kami untuk tetap di situ," imbuh Rina.

Rina menambahkan, kondisi Azka saat ini sudah menunjukkan peningkatan. Dari hasil fisioterapi di RSCM, terdapat perkembangan positif yang dialami balita berumur 4 tahun 3 bulan tersebut.

"Alhamdulillah, kondisi Azka kelihatan ada peningkatan. Tadi pukul 11.00 WIB, di-fisioterapi duduk, Alhamdulillah, gerakan mata, mulut, alis, gerakan geleng kepala, sudah ada peningkatan," ujarnya.(nvc/nrl)

Selasa, 09 Agustus 2011

Peneliti Kimia ITB Klaim Temukan Obat GBS


Rabu, 10 Agustus 2011 , 12:14:00

Anton: Negara Salah Menangani Pasien

JAKARTA- Peneliti di Institute Tekhnologi Bandung (ITB), Anton Hartomo mengatakan pemerintah sedang melakukan kesalahan besar dalam menangani penderita Guillian Barre Syndrome (GBS).

"Saya terus membaca perkembangan kasus GBS di media-media. Kalau setiap ada pasien hanya diberi obat dan penanganan yang salah, negara bisa habis miliaran. Saya yakin, GBS ini sudah banyak dan akan semakin banyak di Indonesia," kata Anton pada JPNN, Rabu (10/8).

Anton yang merupakan mantan pengurus Himpunan Kimia
Indonesia dan pendiri jurusan Kimia di Institut Tekhnologi Surabaya (ITS) ini mengatakan bahwa GBS bisa diobati dengan pengobatan alternatif bernama air perak. Pengobatan ini diklaim lebih ampuh daripada memasukkan berbagai antibiotik yang justru semakin merusak sistem syaraf dan motorik pasien GBS.

"GBS ini memang unik, pemerintah selalu mengatakan menyerang sistem imun padahal ini juga akibat macam-macam antibiotik yang masuk ke pasien. Jadi saya kasihan saja dengan pasien. Saya sarankan untuk mencoba pengobatan air perak yang saat ini telah kami temukan," kata Anton.

Anton mengatakan menemukan air perak setelah melakukan penelitian bersama temannya Philip Jhon asal Inggris. Penemuan ini sedang dikembangkan di
Bandung dan sudah beberapa kali diajukan ke Kemenkes namun selalu ditolak.

"Saya seorang peneliti Kimia dan bukan ingin mencampuri urusan dokter. Tapi kalau begini terus cara penanganannya, kasihan juga pasien, keluarga juga negara. Cobalah jangan berpikiran sempit dan harus lebih terbuka menangani GBS yang kini ada di
Indonesia," kata Anton.(afz/jpnn)

GBS Juga Menyerang Orang Dewasa


Rabu, 10 Agustus 2011 , 10:49:00


 Tissa Trinovia saat dirawat di RS Dharmais Jakarta.

JAKARTA- Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan Guillian Barre Sydrome adalah salah satu penyakit langka di dunia. Namun kini sepertinya GBS tak lagi langka di Indonesia. Bukan hanya Azka (4) dan Shafa (4), dua balita yang kini masih berjuang hidup dengan GBS. Kini penyakit itu juga Tissa Trinovia (17). Atlet bola basket itu pun kini juga hidup bagai manusia mesin.

Putri bungsu Teguh dan Endah, warga kompleks Angkasa Pura II Jalan Mutiara Blok C23 No.1, RT 01/RW 007 Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Neglasari, Tangerang, Banten ini sudah hampir dua bulan menjadi penghuni ruang ICU lantai III RS Dharmais, Jakarta.

Tidak ada yang menyangka, bila Tissa yang awalnya ceria, aktif dan gesit kini tumbang tak berdaya akibat GBS. Semuanya terlihat sangat normal, apalagi selain aktif di OSIS SMU 1 Tangerang, Tissa juga dikenal sebagai atlet basket dan softball di sekolahnya.

Namun semuanya berubah dan menjadi mimpi buruk bagi keluarga Teguh pada tanggal 16 Juni lalu. Saat itu menjelang magrib, Tissa mulai mengeluhkan badannya terasa kelelahan, kaki kesemutan dan sangat berat digerakkan. Tissa bahkan meminta kakaknya, Tussi untuk mengantarnya cek ke dokter.

"Saya sempat heran, padahal Tissa selama ini tidak pernah mengeluh sakit apalagi minta diantar ke dokter. Bahkan 3 hari sebelumnya, saya sama Tissa sempat olahraga di Senayan," kata Tussi, kakak sulung Tissa pada JPNN yang menemuinya di RS Kanker Dharmais, Selasa (9/8) malam.

Kondisi Tissa terus melemah dan keluarga segera melarikannya ke RS Mayapada.
Para dokter sempat memvonis Tissa kekurangan Kalium. Obat-obatan pun diberikan namun bukannya membaik, Tissa terus memburuk. Hanya dalam hitungan jam, Tissa pun nyaris lumpuh dan harus dipapah saat Dokter merujuknya ke RS Dharmais.

Sampai di RS Dharmais, Tissa langsung masuk ICU dan mendapatkan bantuan alat pernafasan (ventilator). Sejak itulah Tissa yang dikenal aktif, pelan-pelan ibarat mati suri. Jangankan menggerakkan badan, bahkan membuka mata saja pun tidak bisa. Tissa langsung koma dan sekitar 10 hari kemudian barulah para dokter memvonisnya terserang GBS.

"Kami tak pernah tahu apa itu GBS? Sebabnya apa, darimana dan bagaimana bisa anak kami yang semula sehat, mendadak harus hidup menggunakan mesin tanpa henti hanya dalam hitungan jam dan hari," kata Teguh.

Pensiunan Angkasa Pura II ini pun harus menerima kenyataan. Memperjuangkan kehidupan putri bungsunya dengan berkejar-kejaran antara nyawa dan waktu. Biaya RS dan obat-obatan yang sangat mahal, harus ditanggungnya sendiri. Padahal uang pensiun yang diterimanya hanya Rp1,4 juta per bulan.

Teguh awalnya masih bisa berjuang untuk Tissa dengan mengandalkan tabungan, pinjaman, sumbangan dan hutang kiri kanan. Namun menghitung hari hingga masuk hitungan bulan, Tissa tak kunjung jua menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.

"Hingga hari ini biaya RS sudah sekitar Rp350 juta. Yang sudah saya bayar sekitar Rp170 jutaan. Sisanya sekitar Rp155 jutaan masih berhutang ke pihak RS. Yang membuat saya panik, hingga saat ini tidak ada satupun yang bisa memastikan kapan anak saya akan sembuh," kata Teguh.

Dari awalnya termasuk golongan mampu, kini Teguh ibarat dimiskinkan oleh GBS. Meski sudah mengeluhkan kondisi putrinya ke berbagai pihak, namun Teguh belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah.

"Dari perusahaan, santunan pensiunan hanya untuk saya dan istri. Sedangkan untuk anak tidak ada. Dari pemerintah juga saya tidak bisa mengajukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), karena semua orang taunya saya mampu. Tapi dengan kondisi seperti ini, semua harta rasanya sudah habis. Kami pun hanya tinggal di rumah komplek yang harusnya ketika masuk usia pensiun wajib kami tinggalkan," kata Teguh.

Setiap harinya Teguh dan Novita berharap Tissa bisa kembali ceria dan aktif seperti sedia kala. Namun Tissa yang sudah menjalani tiga kali cuci plasma (setiap satu kali biayanya Rp25 juta lebih), tetap saja tidak banyak menunjukkan perubahan. Cuci plasma hanya mampu membuat Tissa bisa berkomunikasi melalui gerak kepala dan mata saja. Sementara gerak motorik lainnya lumpuh total.

Saat JPNN berkesempatan mengunjungi ruang ICU, berbagai mesin pemantau gerak motorik tampak mengelilingi ranjang dimana hampir 2 bulan Tissa berbaring. Karena GBS juga sudah menyerang gerak motorik paru-parunya, Tissa terpaksa bernafas menggunakan ventilator yang dilubangi melalui lehernya. Tissa sang atlet Basket itu benar-benar terlihat ringkih dan tidak berdaya. Hanya bola matanya saja yang terlihat bergerak.

JPNN berusaha mengajak Tissa berkomunikasi dengan cara memegang tangannya. Tissa sempat memandang. Terlihat rona letih diwajahnya. "Tissa ngantuk ya?". Pertanyaan inipun dijawabnya dengan satu kedipan seolah mengiyakan.

"Beginilah kondisi anak saya sekarang. Hampir semuanya sudah bergantung dari mesin. Kami sudah bingung mau mencari biaya pengobatan dari mana lagi. Sebagai seorang ayah, saya akan berjuang sampai kapanpun demi kesembuhan anak saya ini. Apapun yang terjadi," kata Teguh yang mengaku tak pernah meninggalkan rumah sakit meski sehari pun.

Bahkan untuk mengakali biaya rumah sakit yang cukup mahal, Teguh harus membelanjakan uangnya secara bijak. Sebagian peralatan medis dibelinya dari luar RS, sedangkan obat-obatan tetap ditebus di RS.

"Sebenarnya tidak sanggup dengan biaya yang begitu besar, tapi kami tidak mungkin menyerah sementara Tissa sudah demikian kuat bertahan. Kami hanya bermohon pemerintah menolong kesusahan kami saat ini. Karena kami sudah tak punya apa-apa lagi," kata Teguh bermohon.(afz/jpnn)

Penyebab Penyakit Autoimun Mulai Terungkap


Selasa, 09/08/2011 15:18 WIB

Jakarta, Penyakit autoimun adalah salah satu penyakit yang hingga kini belum diketahui pasti penyebabnya dan susah untuk disembuhkan. Kini ilmuwan mulai mengungkap penyebab penyakit autoimun.

Penyakit autoimun muncul ketika imun atau sistem kekebalan tubuh dalam diri yang seharusnya bertugas melawan bibit penyakit dari luar tubuh malah menyerang jaringan tubuh sendiri.

Peneliti di National Jewish Health telah menemukan jenis sel yang menjadi peyebab penyakit autoimun. Temuan ini juga menjelaskan mengapa penyakit seperti Lupus, Multiple Sclerosis dan Rheumatoid Arthritis lebih sering menyerang wanita dibandingkan pria.

Peneliti ini dilaporkan dalam jurnal Blood edisi 4 Agustus 2011. Untuk menemukan penyebabnya ini peneliti meneliti sel-sel yang lebih rentan terhadap penyakit autoimun pada tikus betina tua, tikus muda dan tua serta pada manusia.

"Kami percaya temuan sel-sel ini dapat berguna dalam diagnosis dan pengobatan penyakit autoimun, serta dapat membantu memahami mekanisme umum yang mendasari penyakit autoimun," kata Philippa Marrack PhD, Profesor Imunologi di National Jewish Health dan peneliti di Howard Hughes Medical Institute seperti dikutip dari ScienceDaily, Selasa (9/8/2011).

Beberapa penyakit autoimun termasuk Lupus, Rheumatoid Arthritis dan Multiple Sclerosis menyerang wanita 2 hingga 10 kali lebih banyak daripada laki-laki. Pada awalnya, hormon seks dianggap memainkan peran dalam penyakit autoimun.

Tim peneliti menemukan sel-sel baru ketika memeriksa kromosom X pada tikus jantan dan betina yang sehat. Peneliti menemukan jenis sel B yang belum terdeskripsikan. Sel-sel ini meningkat seiring usia tikus perempuan sehat, tetapi tetap konstan pada tingkat rendah pada tikus jantan yang sehat.

Peneliti memberikan nama untuk sel-sel ini Age-associated B Cell atau ABC. Peneliti juga menemukan tingkat ABC yang lebih tinggi pada tikus tua dan muda yang rentan terhadap penyakit autoimun. Sel-sel ini bisa mendeteksi peningkatan kadar ABC sebelum penyakit berkembang dan bahkan sebelum penyakit auto antibodi ini muncul. Hal ini menunjukkan kemampuan sel-sel ini dalam deteksi dini penyakit.

Ditemukan juga jenis sel yang hampir identik dalam darah pasien autoimun manusia. Pada wanita penderita Rheumatoid Arthritis, kehadiran sel-sel ini meningkat seiring bertambahnya usia. Ketika ABC habis pada tikus, tingkat penyakit auto imun turun. Hal ini memberikan rekomendasi pengobatan yang potensial untuk penyakit autoimun. National Jewish Health telah mengajukan permohonan paten pada metode depleting sel untuk mengobati penyakit autoimun.

"Sel-sel ini tidak hanya lebih sering muncul pada wanita, aktivasi mereka juga tergantung pada dua salinan gen yang dimiliki perempuan. Ini bisa membantu kita memahami mengapa perempuan menderita penyakit autoimun lebih sering daripada pria," kata Anatoly V. Rubtsov, PhD, dari National Jewish Health.(ir/ir)

Azka dan Shafa dipertemukan di RSCM


Senin, 01/08/2011 14:06 WIB

Jakarta, Secara kebetulan, 2 balita di Bogor dan Jakarta terserang sindrom langka sehingga harus bertahan hidup dengan alat bantu pernapasan. Keduanya kini sama-sama dievakuasi ke RS Cipto Mangunkusumo untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Seperti diberitakan detikHealth sebelumnya, Shafa Azakia sudah dirawat selama 10 bulan di RS St Carolus Salemba karena mengidap Guillain Barre Syndrome (GBS). Akibat sindrom langka tersebut, balita perempuan berusia 4 tahun 7 bulan ini harus hidup dengan ventilator (alat bantu napas) yang ditanam 15 cm ke dalam tenggorokannya.

Tanpa alat tersebut, paru-paru Shafa hanya bisa mengembang untuk menghidup udara namun tidak bisa mengempis untuk mengeluarkannya. Otot pernapasan Shafa tidak berfungsi normal karena mengalami kelumpuhan setelah susunan saraf perifer (tepi) diserang GBS.

Selain Shafa, balita lain yang secara kebetulan terserang sindrom serupa adalah Muhammad Azka Arriziq asal Bogor. Bocah laki-laki berusia 4 tahun 2 bulan ini telah 10 hari menjalani perawatan di RS Azra, Bogor dan sama-sama tidak bisa bernapas tanpa bantuan ventilator.

Azka lebih beruntung dari Shafa yang baru mendapat ventilator setelah 2 hari dirawat, karena langsung mendapat pertolongan beberapa saat setelah didiagnosis positif GBS. Meski demikian, kondisi keduanya sama-sama tergolek lemah bahkan sempat koma berhari-hari.

"Kondisi Azka saat ini relatif sudah lebih stabil, dalam arti kesadarannya sudah pulih. Kalau untuk bergerak dan bernapas sendiri, masih belum bisa. Masih pakai ventilator," ungkap Anto Ariyanto, ayah Azka saat dihubungi detikHealth melalui telepon, Senin (1/8/2011).

Untuk mendapat perawatan lebih lanjut keduanya hari ini sama-sama dievakuasi ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) setelah mendapat rujukan dari rumah sakit yang merawat kedua balita tersebut yakni RS St Carolus Salemba dan RS Azra Bogor. Di RSCM, keduanya akan menjalani observasi kembali.

Sementara itu Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan, kasus GBS ini sangat langka dan hanya terjadi 1-2 kasus tiap tahunnya di antara 10.000 manusia di dunia. Kebanyakan penderitanya adalah orang dewasa muda, kurang lebih berusia 30-an tahun.

"Gejalanya sebenarnya sangat spesifik, dimulai dengan kesemutan di kaki atau tangan lalu menjalar ke seluruh tubuh. Lama-lama otot jadi lemas, kalau jalan bisa tiba-tiba jatuh. Sindrom ini jadi sangat berbahaya jika yang diserang adalah otot pernapasan, karena penderitanya jadi tidak bisa bernapas," ungkap Menkes saat menengok Shafa di RS St Carolus hari ini.(up/ir)

Azka dan Shafa Tersenyum Saat Dijenguk Linda Gumelar


Kamis, 04 Agustus 2011 13:04


JAKARTA (4/8) pagi ini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) dikunjungi oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP-PA), Linda Amalia Sari Gumelar. Kunjungan Bu Menteri kali ini dalam rangka menjenguk pasien anak penderita Guillain - Barre Syndrome (GBS), mereka adalah Muhammad Azka Arriziq (4) dan Shafa Azalia (4) yang berasal dari dua keluarga yang berbeda.

GBS merupakan penyakit langka yang memerlukan pemulihan dalam jangka waktu yang lama. Penyakit yang gejala awalnya kesemutan ini, membuat pasien menjadi lumpuh dan bernapas menggunakan bantuan ventilator. Dengan kondisi ini, mengundang perhatian dari pemerintah termasuk Meneg PP-PA, Linda Amalia Sari Gumelar untuk menjenguk pasien anak penderita GBS dan memberikan semangat kepada kedua pasien tersebut dan dukungan kepada orangtuanya.

Suasana penuh haru menyelimuti ruangan ICU Anak di Gedung A RSCM, Ibu dari Shafa yang berada didalam ruangan langsung memeluk Bu Menteri dan menangis serta bercerita tentang perjuangan anaknya yang masih kecil itu. Sebagai wujud simpati, Ibu Menteri memberikan hadiah dan mainan kepada Shafa dan Azka. Melihat hadiah yang diberikan oleh Ibu Menteri, Shafa langsung tersenyum senang. Namun Azka yang masih koma, masih belum bisa bermain dengan mainan barunya, dan keadaan inilah yang membuat orangtua Azka menangis saat dihampiri oleh Ibu Menteri karena Azka adalah anak tunggal mereka.

"Saya melihat, Azka dan Shafa sangat bersemangat dan itulah yang perlu kita perhatikan bagi pasien yang masih terlampau muda, agar mereka diberikan pemulihan psikologis, sehingga tidak trauma terhadap penyakit yang dideritanya", jawab Linda saat ditanyai oleh para wartawan yang datang ke RSCM. (HM)

Menkes Imbau Bantu Penderita GBS



JAKARTA-Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedya ningsih mengimbau donatur turut membiayai pengobatan Muhammad Azka Arriziq, 4, dan Shafa Azalia, 4, keduanya penderita guillain barre syn drome (GBS). Azka dalam keadaan koma dan di rawat di RS Azra, Bogor, sedangkan Shafa setahun terakhir hidup dengan alat bantu pernapasan di RS St Carolus, Jakarta.

”Biaya pengobatan pasien GBS mahal. Per botol Rp 2 juta hingga Rp 2,7 juta. Tak heran orang tua ke bi ngungan karena pengobatan bisa mencapai ra tusan juta rupiah,” terang Menkes seusai membesuk Shafa. Menkes mengakui GBS adalah penyakit langka, hanya menyerang satu di antara seratus ribu orang. Di Indonesia, kali terakhir keberadaan GBS dilaporkan terjadi pada 1859 dan 1916. (selengkapnya baca Koran Jakarta Raya). (*)

Cadas, Anak Penderita GBS Yang Sembuh


http://www.kompas.com/
Riana Afifah | Benny N Joewono | Minggu, 7 Agustus 2011 | 18:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun lalu, penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) ternyata diderita juga oleh seorang anak bernama Cadas Propopuli Azzam Baribin (13).

Namun kini siswa kelas dua SMP Negeri 68 Jakarta itu sudah sehat kembali dan dapat beraktivitas seperti biasa. "Seminggu pertama ngeluh telapak kakinya kesemutan dan sakit. Setelah itu sampai telapak tangan nggak bisa gerak," ungkap ibu Cadas, Nia Damayanti ketika dijumpai di Gerakan Seribu Rupiah di Jakarta, Minggu (7/8/2011).


Cadas pun segera dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan pada tanggal 2 Mei 2010. Selama dua minggu, ia dirawat di RSPI dan menjalani terapi hingga bulan Juni.

Pada bulan Juli, ia masih sempat masuk sekolah dengan tetap menggunakan alat bantu jalan. "Susah sekali dia disuruh pake alat bantu jalan waktu itu. Tapi nggak lama masuk sekolah, Cadas kambuh lagi," tutur Nia.

Cadas juga sempat menjalani pengobatan di Singapura. Dalam rentang waktu lima bulan, Cadas kembali pulih dan dapat beraktivitas seperti biasa. Tepatnya pada bulan September 2010, Cadas sembuh total.

"Final word untuk penyakit ini hanyalah akut atau kronis. Ketika itu kronis, pengobatan dan perawatan harus intensif," ujar Nia.

Ia pun menuturkan bahwa butuh banyak pertimbangan untuk membawa anak sulungnya ini ke Singapura mengingat penyakit ini menyerang organ tubuh hanya dalam hitungan jam saja. "Penyakit ini menjalar hanya dalam hitungan jam saja. Penanganannya harus tepat," jelas Nia.

Ia pun berkisah saat anaknya terkena GBS, hampir setiap hari ia mencari tahu tentang penyakit ini. Tidak hanya itu, kehidupan keluarganya pun berubah lantaran perhatiannya tercurah ke putra sulungnya ini.

"Bayangkan saja. Awalnya flu kok tiba-tiba langsung begitu. Sebelumnya dokter THT keluarga kami sempat bilang jika ada virus di anak saya yang bisa menyebabkan gagal organ," ungkapnya.

Benar saja, enam bulan setelah pernyataan dokter tersebut, Cadas terkena GBS. Setiap hari pengobatan, orang tuanya harus menghabiskan biaya sekitar Rp 24 juta. Karena untuk satu ampul obat berukuran 5 ml saja berharga Rp 7,5 juta.

"Ya memang itu obatnya. Jadi mau gimana lagi. Dan itu cukup ampuh. Kalau tidak pilihannya transplantasi plasma atau steroid. Tapi saya bersyukur anak saya dapat sembuh. Saya berdoa Shafa dan Azka juga bisa sehat kembali," katanya.*

Menkes: Penyakit Katastrofik Membebani


http://www.kompas.com/
Lusia Kus Anna | Rabu, 3 Agustus 2011 | 09:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Dua anak, yakni Azka dan Shafa Azalia, yang menderita Sindrom Guillain-Barre atau GBS, sejak Senin (1/8) dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah keduanya dijenguk oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.

Azka (4) sebelumnya dirawat selama 20 hari di RS Azra Bogor. Adapun Shafa (4) selama hampir 10 bulan dirawat di RS St Carolus Jakarta.

Jika biaya perawatan Azka di Bogor mencapai hampir Rp 100 juta, Shafa menghabiskan tak kurang dari Rp 600 juta. Azka lebih beruntung dibandingkan Shafa karena ayah Azka, Anto, adalah seorang dosen sebuah universitas negeri di Pekan Baru, Riau, sehingga biaya perawatan Azka akan didanai oleh PT Askes. Di sisi lain, hingga Selasa (2/8) belum jelas apakah Shafa dapat didanai oleh Jamkesmas.

Menurut Wina, ibunda Shafa, ia dan suaminya masih berutang Rp 300 juta kepada RS St Carolus. Sebelumnya, biaya yang juga sebesar Rp 300 juta ia bayar dengan biaya dari perusahaan asuransi ACA tempat suaminya bekerja (Rp 15 juta), sumbangan rekan kerja suaminya (Rp 17 juta), sumbangan dokter-dokter dan donatur di RS St Carolus (Rp 35 juta), dana dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta (Rp 100 juta). Sisanya dari tabungan dan menjual barang-barang.

”Saya tidak tahu bagaimana kami harus membayar utang di RS St Carolus. Untungnya rumah sakit itu berbaik hati mengizinkan Shafa dirujuk ke RSCM, dan suami saya diminta membuat surat pernyataan,” kata Wina sambil meneteskan air mata.

Menteri Kesehatan ketika dihubungi menyatakan, khusus untuk biaya perawatan Shafa di RS Carolus sebagian akan dibantu Jamkesmas.

”Mungkin masih ada yang harus ditanggung orangtua sebagian, belum kami hitung. Di RSCM, soal baru lagi nanti. Biaya akan dibantu sebagian oleh Jamkesmas, sebagian oleh RSCM, sisanya kami minta partisipasi masyarakat,” kata Menkes.

Ia mengatakan, untuk penyakit seperti GBS yang membutuhkan biaya mahal tak cukup sistem untuk meringankan biaya pengobatan. ”Walau nanti kita memiliki sistem pembiayaan kesehatan, penyakit-penyakit katastrofik mungkin tidak akan tercover. Kita melihat bukti-bukti di negara lain, termasuk Amerika Serikat dan Brasil, jika terlalu generous, sistem tak akan bertahan lama. Karena cepat bangkrut. Ini yang kami khawatirkan. Lebih baik mulai dengan sedikit modest, lalu ditambah. Karena itu, peran serta masyarakat diharapkan,” katanya.(IJ)

GBS Penyakit Langka, Serang Kekebalan Tubuh


http://www.jpnn.com/
Sabtu, 30 Juli 2011 , 16:39:00

JAKARTA—Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengakui bila Gullain Barré Syndrome (GBS) termasuk salah satu penyakit langka di Indonesia. Pada banyak kasus, pasien katanya bisa sembuh dengan sendirinya. Tapi pada kasus lainnya bisa berakibat fatal seperti yang dialami Azka (4) di RS Azra Bogor dan Shafa (4) di RS Carolus, Jakarta.

‘’Ini memang jarang terjadi. Sulitnya adalah kita sampai saat ini belum memiliki obatnya. Jadi yang bisa dilakukan selama ini hanya merawat saja, menjaga tetap hidup dengan ventilator tapi tidak tahu ujungnya kapan sembuh,’’ kata Endang pada wartawan di Istana Negara, Jumat (29/7) malam usai menyaksikan acara wayangan.

Endang mengatakan, karena termasuk penyakit yang jarang ditemukan maka GBS memang tidak tersosialisasikan di Posyandu. Sosialisasi pentingnya imunisasi untuk mencegah penyakit yang menyerang kekebalan tubuh (imun) ini akan dimaksimalkan lagi. Sementara untuk kasus Azka dan Shafa yang sudah terjadi, Endang janji untuk memperhatikan kasusnya.

‘’Saya sudah kirimkan tim ke Bogor. Untuk yang di Carolus, saya janji akan segera menyelidiki dulu secepatnya. Saya akan lihat dulu kasusnya. Saya siap bantu sosialisasi. Apapun yang bisa kita bantu akan kita bantu,’’ kata Endang.

Hanya saja mengingat biaya yang sangat besar sementara batas waktu kesembuhan pasien GBS tidak diketahui, Endang mengatakan pemerintah tidak bisa menanggung pembiayaan sendiri.

‘’Mungkin yang bisa kita bantu biayanya hanya sebagian oleh karena anggaran kita terbatas, tidak mungkin menolong yang ini terus, bagaimana dengan penyakit-penyakit yang lain. Kami benar-benar meminta bantuan dan imbauannya agar para dermawan untuk ikut membantu,’’ kata Endang.

Sebagaimana diketahui, memasuki hari ke 10, Muhammad Azka Arriziq (4) masih terbaring koma dengan GBS di RS Azra Bogor. Meski jantung berdetak, namun putra tunggal Anto yang berprofesi sebagai Dosen Unilak Pekanbaru dan Rina seorang guru TK ini 100 persen kehidupannya disangga peralatan medis dan obat-obatan mahal. Biayanya pun sudah mencapai Rp100 juta.

Jika pun berhasil melalui masa kritis, kondisi Azka mungkin tak akan beda jauh dengan kondisi Shafa (4,6) yang sudah hampir 1 tahun hidup dengan GBS. Shafa pun terpaksa menggunakan ventilator dengan cara dilubangi dibagian lehernya. Orang tua Shafa, Zulkarnain dan Vina, sudah menghabiskan biaya lebih dari Rp500 juta dan memiliki utang ratusan juta untuk mempertahankan putri anak mereka.

Selain langka, beberapa pakar kesehatan menyebut penyakit GBS sebagai penyakit yang cukup aneh. Disebut aneh karena hingga saat ini para ahli belum menemukan penyebab utama munculnya penyakit ini. GBS bukan penyakit turunan, tidak menular, bukan pula karena faktor lingkungan ataupun makanan yang kurang sehat.

Satu-satunya bukti ilmiah yang didapat oleh para ilmuwan adalah bukti bahwa pada penderita GBS sistem kekebalan tubuh secara mandiri menyerang tubuh, oleh sebab itu GBS dikenal juga dengan auto-immune disease. Yang membahayakan, GBS menyerang otot-otot bahkan otot paru-paru tidak bisa berfungsi. Meski jantung sehat namun pasien GBS tidak bisa bernafas normal tanpa bantuan alat bantu pernafasan.(afz/jpnn)

Senin, 08 Agustus 2011

Gerakan Seribu Rupiah Untuk Penderita GBS

http://www.jpnn.com/
Minggu, 07 Agustus 2011 , 22:55:00


 JAKARTA - Kepedulian kepada dua pasien penyakit langka Gullian Barre Syndrome (GBS) Azka (4,3) dan Shafa (4,7) mulai menggeliat. Guna merangkul lebih banyak donatur untuk menjaga nafas dua bocah malang ini, sekelompok relawan memulai gerakan seribu rupiah untuk Shafa dan Azka.

Gerakan Seribu Rupiah untuk Azka dan Shafa mulai disosialisasikan, Minggu (7/8) bertempat di Jalan Kayumanis X RT 009 RW 09 No 67 Kelurahan Kayumanis, Jakarta Timur. Untuk menampung donasi bagi Azka dan Shafa, bisa disalurkan melalui BCA atas nama Melva Tobing nomor rekening 7510.4159.60 dan Bank Mandiri atas nama drg.Silvia Wahyuni nomor rekening 10.1000.4880.56.1.

"Sementara kami memang gunakan rekening pribadi, karena gerakan ini untuk Azka dan Shafa secara bersama-sama. Jadi berapapun donasi yang masuk, akan kami salurkan untuk dua pasien GBS ini," ujar Zulkarnain yang tak lain adalah ayah Shafa pada JPNN.

Zulkarnain mengatakan, lahirnya gerakan ini bertujuan untuk mengetuk pintu hati masyarakat membantu meringankan beban yang harus ditanggung keluarga pasien GBS. Penyakit GBS yang tidak tersosialisasi dengan baik oleh pemerintah ini, bukan hanya langka namun pembiayaan pengobatannya sangat mahal. Sulitnya lagi, pasien GBS tidak pernah bisa diketahui kapan sembuhnya.

Muhammad Azka Arriziq (4,2) sudah divonis terserang GBS. Sejak 21 Juli hingga hari ini, Azka masih hidup bagaikan manusia robot di ruang ICU RSCM Jakarta. Kondisi tubuhnya sama sekali tidak bergerak meskipun jantungnya masih berdetak. Seluruh gerak motorik tubuh Azka, termasuk paru-paru, juga tidak bisa bekerja dan harus bergantung hidup pada ventilator. Biaya perawatan Azka sudah mencapai Rp 100 juta.

Adapun Shafa Azalia (4,7) sebelumnya selama 10 bulan dirawat di RS St Carolus, Jakarta. Sejak 17 Oktober 2010, orangtua Shafa sudah menghabiskan biaya hingga Rp600 juta. Mereka masih berutang sekitar Rp300 juta kepada RS St Carolus. Hingga saat ini, Shafa harus hidup dengan ventilator yang dilubangi melalui lehernya. Tidak ada yang tahu bahkan Menteri Kesehatan sekalipun, kapan Azka dan Shafa akan pulih dan bisa hidup normal kembali.


Awal Agustus lalu, Azka dan Shafa dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo untuk diberikan penanganan lanjutan. Namun Menkes Endang tidak bisa memastikan kapan kesembuhan bagi dua balita ini pasien GBS ini.

"Pemerintah hanya sanggup memberikan bantuan setengahnya, sisanya diharapkan dari donatur. Sementara kami para orang tua pasien GBS sudah habis-habisan. Mudah-mudahan dengan adanya gerakan ini, Azka dan Shafa bisa tetap bertahan hidup," kata Zulkarnain.

Sementara itu, Anto Ariyanto, ayah dari pasien GBS Azka Arriziq (4,3) mengharapkan nantinya gerakan ini akan menjadi cikal bakal terbentuknya yayasan yang fokus menangani masalah penderita GBS. Gerakan ini bukan hanya bergerak untuk menghimpun dana namun juga mengemban tanggungjawab sosialisasi GBS pada masyarakat.

"Kami berharap ketika ada anak Indonesia yang mengalami gejala penyakit GBS seperti Azka atau Shafa, bisa lebih waspada dan bertindak cepat. Kami pun awalnya tidak pernah tahu GBS itu apa," kata Anto.

Gerakan ini sementara memang akan memakai simbol Azka dan Shafa. Karena berkat terungkapnya kasus dua anak penderita GBS inilah, pertama kalinya pemerintah memberikan perhatian. Bahkan Menkes secara resmi mengumumkan GBS salah satu penyakit langka di dunia yang kini ada di Indonesia. Penderita GBS disebut hanya ada 1 atau 2 saja di dunia dalam satu tahun. Biaya pengobatan menjadi mahal karena hanya ada satu obat GBS,itupun berasal dari impor.

"Kami berharap Azka dan Shafa mendapatkan kesempatan yang lebih besar bila ada donatur yang berkenan membantu pembiayaan mereka hingga sembuh," kata Anto yang berprofesi sebagai Dosen di Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru ini.

Sementara itu salah satu pelaksana Gerakan seribu rupiah untuk Azka dan Shafa, Silvia mengatakan guna menjaga transparansi laporan keuangan hasil donasi, pihaknya akan membuat laporan setiap harinya. Seluruh laporan tersebut akan dipublikasikan melalui Facebook ataupun Blog. Para donatur juga bisa menghubungi panitia gerakan di nomor 081383488810 untuk mengetahui berapa donasi yang sudah terkumpul setiap harinya.

"Setiap satu rupiahnya akan kami pertanggungjawabkan kepada publik. Semata-mata gerakan ini guna meringankan beban dari keluarga pasien GBS. Saat ini fokus gerakan untuk Azka dan Shafa yang masih berjuang dengan penyakit mereka di ruang ICU RSCM Jakarta," kata Silvia.(afz/jpnn)

Jenguk Azka dan Shafa, DPR Minta Jaminan Negara

http://www.jpnn.com/
Kamis, 04 Agustus 2011 , 12:43:00


JAKARTA- Simpati terhadap Azka (4,7) dan Shafa (4,7) penderita penyakit langka Gullian Barre Syndrome (GBS) terus berdatangan. Kali ini datang dari anggota komisi IX DPR RI, Rieke Dyah Pitaloka dan Ketua Komisi IX DPR RI, dr Ribka Tjiptaning P. Politisi PDI Perjuangan itu mengunjungi dua balita yang kini dirawat di ICU RSCM Jakarta, Kamis (4/8).

Rieke dan Ribka yang datang secara dadakan, langsung bertemu dengan Anto, Ayah Azka dan Zulkarnain, ayah Shafa. Rombongan langsung menuju lantai 6 ruang ICU anak RSCM Jakarta diantar oleh Direktur Utama RSCM Prof Akmal Taher.

Rieke dan Ribka langsung menuju ke tempat tidur Shafa. Bocah mungil ini terlihat masih menggunakan ventilator yang dilubangi melalui lehernya. Sebelum dipindahkan ke RSCM, Shafa sudah menghuni ICU RS Carolus selama hampir 10 bulan. Untuk pembiayaan Shafa, keluarganya sudah menghabiskan dana lebih dari Rp600 juta. Rp300 juta lainnya dalam bentuk utang kepada pihak rumah sakit.

Diruangan yang sama, masih terbaring koma Azka. Anak tunggal Anto dan Rina ini sudah memasuki hari ke 15 terserang penyakit GBS. Penyakit ini termasuk langka karena menyerang imun tubuh dan hanya ada 1 sampai 2 kasus saja di dunia setiap tahunnya. Sebelum dirujuk ke RSCM, orang tua Azka mengeluarkan biaya hingga Rp100 juta saat dirawat selama 9 hari di RS Azra Bogor.

"Kami sudah mengunjungi langsung Azka dan Shafa. Kami mendesak untuk dua pasien ini ditanggung sepenuhnya oleh negara. Karena anggaran itu memang ada. Jangan hanya mengharapkan dermawan," kata Rieke.

Sementara itu Ribka juga menyatakan kekecewaan atas pernyataan Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih di beberapa media yang mengatakan bahwa pembiayaan penyakit langka membebani negara. Untuk itu diperlukan juga partisipasi dermawan selain usaha pemerintah.

"Pernyataan ini menunjukkan sikap lepas tanggungjawab dari pemerintah. Azka dan Shafa harus ditanggung negara sepenuhnya, terlebih lagi orang tuanya sudah berusaha, namun mengingat biaya yang besar maka negara harus mengambil peran," tegas Ribka.

Penegasan inipun disampaikan Rieke dan Ribka kepada Direktur RSCM. Bukan hanya itu, atas nama Ketua Komisi IX dan anggota komisi, Ribka dan Rieke memberikan surat rekomendasi khusus untuk jaminan Azka dan Shafa mendapatkan perawatan medis yang sebaik-baiknya hingga pulih total.

"Kami tetap mendukung bila memang ada gerakan peduli GBS dengan menggerakkan dermawan. Tapi mau sampai kapan dan untuk berapa penyakit, apa harus seperti itu terus? Sementara ada anggaran di pemerintah dan itu yang harusnya dipertanyakan," tambah Rieke.(afz/jpnn)

Obat Diimpor, Menkes Minta Masyarakat Waspadai GBS

http://www.jpnn.com/
Senin, 01 Agustus 2011 , 00:37:00

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengumumkan secara resmi Gullain Barré Syndrome (GBS) termasuk salah satu penyakit langka yang harus diwaspadai di Indonesia. Penderitanya hanya ada 1:100.000 dan memang tidak bisa dipastikan kapan pasien akan sembuh.

Pada banyak kasus, pasien kata Endang memang bisa sembuh dengan sendirinya. Tapi pada kasus lainnya bisa berakibat fatal seperti yang dialami Muhammad Azka Arriziq , pasien GBS yang berumur empat tahun tiga bulan dan Shafa yang berumur empat tahun enam bulan.

Azka kini masih terbaring koma di RS Azra Bogor pada hari ke 11 dan Shafa yang sudah hampir setahun hidup dengan ventilator di Rumah Sakit (RS) Carolus, Jakarta. ‘’GBS pada Azka dan Shafa memang jarang terjadi. Sulitnya adalah kita sampai saat ini belum memiliki obatnya. Obat masih impor,’’ kata Endang pada wartawan usai menjenguk Azka di RS Azra Bogor, Minggu (31/7).

Endang datang khusus ke Bogor secara mendadak. Sebelumnya, Endang telah mengirimkan tim dari Kemenkes begitu mendapat short message services (SMS) aduan dari orang tua Azka dan orang tua Shafa. Endang mengaku baru mengetahui bila ada pasien GBS di jantung Ibukota Jakarta dan berjanji akan segera menurunkan tim khusus mempelajari mengenai GBS yang mulai bermunculan ini.

‘’GBS termasuk penyakit autoimun. Secara umum masih belum diketahui penyebabnya apa. Biasanya dimulai dari kesemutan dan badan yang terasa berat. Ini memang langka, hanya 1:100.000. Ada dokter yang dulu pernah juga menangani GBS, itupun sekitar 10 tahun lalu. Kita masih mencari referensi lengkap mengenai GBS ini,’’ kata Endang saat menggelar konfrensi pers usai menjenguk kondisi Azka di ruang ICU.

Endang mengatakan, karena termasuk penyakit langka maka GBS memang tidak tersosialisasikan di Posyandu. Sosialisasi pentingnya GBS akan dimaksimalkan guna mencegah korban berikutnya. Sementara untuk kasus Azka dan Shafa yang sudah terjadi, Endang berjanji untuk memperhatikan kasusnya hingga tuntas.

‘’Pada orang tua Azka, saya sudah minta Askes untuk turun tangan. Meski RS Azra belum bekerjasama dengan Askes, saya minta dibuatkan pengecualian. Sementara untuk Shafa memang agak sulit, mengingat ayahnya bekerja di swasta. Kita akan carikan jalan keluarnya segera,’’ kata Endang pada orang tua Azka, Anto dan Rina serta Ayah Shafa, Zulkarnain.

‘’Kesembuhan pasien GBS memang tidak bisa dipastikan kapan, karena tergantung dari kekuatan si pasien sendiri. Karena itu yang bisa kita lakukan adalah antisipasi awal. Bila ada kesemutan dan lemah otot, harus diwaspadai dan segera konsultasi ke dokter syaraf atau dokter anak,’’ lanjut Endang.

Karena termasuk penyakit langka dan obatnya masih impor, Endang mengakui biaya pengobatan GBS memang sangat mahal. Orang tua Azka dalam 10 hari sudah mencapai Rp 100 juta, sedangkan orang tua Shafa selama hampir satu tahun mencapai Rp 600 juta. Biaya yang besar ini tidak sepenuhnya bisa ditanggung pemerintah.

 ‘’Mungkin yang bisa kita bantu biayanya hanya sebagian oleh karena anggaran kita terbatas. Kami benar-benar meminta bantuan dan mengimbau agar para dermawan se Indonesia ikut membantu Azka dan Shafa. Kita buat gerakan sosial bersama,’’ ajak Endang.

Memasuki hari ke 11, Muhammad Azka Arriziq (4,3) masih terbaring koma dengan GBS di RS Azra Bogor. Ibarat manusia robot, meski jantung berdetak, namun putra tunggal Anto yang berprofesi sebagai Dosen Unilak Pekanbaru dan Rina seorang guru TK ini 100 persen kehidupannya disangga peralatan medis dan obat-obatan mahal. Biayanya pun sudah mencapai Rp 100 juta dan tidak pernah tahu kapan bisa melalui masa kritisnya.

Jika pun berhasil melalui masa kritis, kondisi Azka mungkin tak akan beda jauh dengan kondisi Shafa (4,6) yang sudah hampir 1 tahun hidup dengan GBS. Shafa hanya hidup di atas tempat tidur dengan menggunakan ventilator dengan cara dilubangi dibagian lehernya. Orang tua Shafa, Zulkarnain dan Vina, sudah menghabiskan biaya lebih dari Rp600 juta dan memiliki utang ratusan juta untuk mempertahankan putri mereka.

Selain langka, beberapa pakar kesehatan menyebut penyakit GBS sebagai penyakit yang cukup aneh. Disebut aneh karena hingga saat ini para ahli belum menemukan penyebab utama munculnya penyakit ini. GBS bukan penyakit turunan, tidak menular, bukan pula karena faktor lingkungan ataupun makanan yang kurang sehat.

Satu-satunya bukti ilmiah yang didapat oleh para ilmuwan adalah bukti bahwa pada penderita GBS sistem kekebalan tubuh secara mandiri menyerang tubuh, oleh sebab itu GBS dikenal juga dengan auto-immune disease. Yang membahayakan, GBS menyerang otot-otot bahkan otot paru-paru tidak bisa berfungsi. Meski jantung sehat namun pasien GBS tidak bisa bernafas normal tanpa bantuan alat bantu pernafasan.

Setelah menjual seluruh harta bendanya, Anto dan Rina tidak menyerah dengan kondisi putranya. Mereka berharap bantuan dari para dermawan yang peduli dengan membuka rekening bantuan. Yakni di rekening BNI atas nama Anto Ariyanto di nomor 0077947826 atau Bank Riau atas nama Anto Ariyanto dengan nomor rekening 1192104761. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang tua Shafa dengan membuka rekening bantuan di BCA atas nama Zulkarnain 1062189732.(afz/jpnn)

Menkes Terkejut Lihat Penderita GBS

http://www.jpnn.com/
Minggu, 31 Juli 2011 , 17:51:00


BOGOR - Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengaku terkejut saat melihat kondisi Shafa Azalia (4), penderita Gullain Barré Syndrome (GBS) penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Meski Shafa sudah hampir 1 tahun menjadi penghuni Rs Carolus Jakarta, namun Endang tak pernah dilapori.

Endang mengatakan baru mengetahui kondisi Shafa setelah menerima SMS dari Zulkarnain, ayah Shafa. Selama hampir setahun pula, Zulkarnain harus berhutang hingga Rp 300 juta untuk mempertahankan ventilator putri bungsunya. Pegawai sebuah perusahaan asuransi di Jakarta ini, secara khusus datang ke Bogor karena mengetahui ada kunjungan Menkes Endang menjenguk Azka.

‘’Sudah hampir setahun Buk Menteri, anak saya hidup hanya dengan ventilator. Saya berhutang Rp300 juta dan sudah menghabiskan biaya Rp 300 juta lebih. Kami mohon buk, jenguklah Shafa anak kami di Jakarta,’’ kata Zulkarnain saat bertemu Endang di Rumah Sakit Azra Bogor, Minggu (31/7).

Tak cukup dengan mengadu, Zulkarnain juga menunjukkan foto-foto kondisi Shafa kepada Endang. Foto-foto Shafa dengan menggunakan ventilator melalui leher yang dilubangi. ‘’Ini sudah lebih 6 bulan menggunakan ventilator?,’’ spontan Endang menanggapi foto SHifa yang ditunjukkan Zulkarnain.

Endang lantas meminta konfirmasi dari salah seorang bawahannya. Begitu mendapat informasi mengenai Shafa yang selama ini memang tidak pernah terekspos media, Endang pun mengaku prihatin.

‘’Insy Allah saya akan menjenguk Shafa besok (Senin,1/7) ke Carolus. Kita akan coba berikan yang terbaik. Memang agak susah karena negara tidak bisa menanggung seluruh biaya, tapi kita akan lihat langsung apa sekiranya yang bisa kita lakukan untuk pasien GBS,’’ kata Endang.

Sebelumnya Endang menjenguk Azka yang juga divonis mengidap penyakit GBS. Ia langsung mengumumkan secara resmi Gullain Barré Syndrome (GBS) termasuk salah satu penyakit langka yang harus diwaspadai di Indonesia. Penderitanya hanya ada 1:100.000 dan memang tidak bisa dipastikan kapan pasien akan sembuh. Sementara biaya obat-obatan GBS memang mahal dikarenakan masih menggunakan satu-satunya obat impor.

JPNN sempat mengunjungi Shafa beberapa kali. Meski secara umum fisiknya sehat, namun Shafa hanya bisa bernafas menggunakan ventilator. GBS membuat otot paru-paru Shafa tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Karena sudah terlalu lama di RS, Shafa bahkan mendapat gelar ‘Ibu Camat’ dari para suster dan dokter.(afz/jpnn)